Malam, kian terasa sunyi, hanya terdengar suara bising dari
pojok-pojok kamar pesanren putri. Di sekeliling asrama putri terlihat berbagai
aktifitas, di pojok kanan terlihat segerombol santri yang masih menikmati
indahnya langit malam, di pojok lain ada yang konsen menghafal Alquran dan
kitab-kitab lainnya.
Malam semakin sunyi, semua santri telah kembali ke dalam mimpi
masing-masing. Hingga terdengar suara bel, yang menuntut mereka untuk bangun
dan melaksanakan sholat subuh, kemudian mengaji kitab. Sungguh tak disangka,
pada saat mengaji kitab, banyak santri yang mengantuk, tapi itulah salah satu kenikmatan
yang perlu kita syukuri.
Pagi, datang, embun pagi menyapa dalam
daun yang penuh kesejukan. Semua terasa indah, saat sayap-sayap burung terlihat
terbang bebas di atas sana. Gerbang pesantren dibuka, semua santri putra dan
putri bergegas meninggalkan pesantren dan melangkah bersama menuju sekolah.
Saat mengikuti pelajaran, semua murid tampak tawadhu. Namun tak seperti hatiku
(Siti Maria Rahmani ) gadis berumur 17 tahun, salah satu santri putri pesantren
Al - Mubarrok, yang diasuh oleh KH. Ahmad
Mubarrok .
Semua terasa hampa, saat aku mulai hari-hari di pesantren hingga
saat ini aku masih terbayang-bayang akan keluargaku. Ayah, Ibu, Maria rindu kalian semua. Tapi, tak mungkin bila aku
kembali ke rumah, sama saja aku mengecewakan kedua orang tuaku. Aku memang
harus bangkit dan lupakan kesenangan semu, bersusah dahulu dan nanti akan
kupetik sebuah makna yang terindah. Ayah, Ibu, Maria berjanji akan pulang
dengan membawa segudang ilmu yang kian nanti bemanfaat dan bisa kalian banggakan.
“Maria,” Hafshah, teman dekatku yang juga salah satu santri
pesantren memanggilku.
“kenapa kamu selalu melamun? Sudahlah Maria, tidak hanya kamu yang merasakan
rasa ini, semua santri baru juga seperti itu, begitu juga dengan aku. Tapi ini
adalah hidup yang harus kita tempuh dengan ikhlas. Maria aku yakin kamu pasti
bisa, aku siap jadi orang yang selalu mendengar keluh kesahmu.”
“Terima kasih Hafshah , aku berjanji akan betah disini, dan bersama-sama
berjuang demi cita-cita kita”.
Kata-kata Hafshah benar-benar meyakinkanku dan memperkuat semanggatku. Tak
terasa sudah dua minggu aku di pesantren, banyak kisah dan ilmu yang aku dapat.
Ternyata menyenangkan hidup sederhana, makan apa adanya, kebersamaan tanpa
pamrih, sungguh semua ini tidak bisa aku
rasakan di rumah.
Matahari seakan terasa di ujung kepala, saatnya pulang sekolah.
Semua murid berjalan teratur, pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di
pesantren, aku langsung berganti baju dan bersiap-siap untuk melakukan kegiatan
mengaji kitab. Namun ada santri yang datang ke kamar dan memanggilku.
“Maria, kamu tadi dipanggil sama umi, amanat beliau setelah pulang sekolah,
kamu disuruh menghadap beliau”
“ada apa ya?, aku takut”
“udahlah Maria, tidak perlu takut kamu tidak memiliki masalah dengan umi kan,
ayo aku antar”
Aku pun berjalan menuju kamar umi bersama Aisyah, salah satu
santri kepercayaan umi. Langkah kaki ini terhenti, kamar umi semakin dekat dan
kini telah sampai. Jantungku semakin deg-degan. “huft, bismillah”
“Assalammualaikum, umi.,”
“Waalaikumsallam..”
Pintu kamar terbuka dan mulai Nampak sosok ibu yang sangat cantik, bijaksana,
dan lemah lembut (umi Khodijah) isteri dari abah Ahmad, yang dikaruniani tiga orang
putra. Diantaranya gus qosim dan gus Abdullah, yang satu kurang aku kenal,
karena berada di negeri Mesir.
“Ini umi, ukhti Maria yang tadi pagi umi cari”.
“Oh, iya, silahkan duduk nduk”
Akupun duduk di samping umi, dan ukhti Aisyah diminta meninggalkan ku.
“begini nduk, tadi pagi Ibumu telfon umi, kamu disuruh pulang, untuk menghadiri
acara pernikahan saudara kamu. Umi mengizinkan, tapi hanya dua hari saja.”
Aku hanya bisa menggangguk, dan tersenyum bahagia. Yang kunanti-nanti kini
datang juga. Aku salim sama umi sekaligus berpamitan.
Sesampai di kamar ku tata semua barang-barang yang akan ku bawa
pulang. Kemudian tak lupa pamitan dengan Hafshah dan teman-teman lainnya. Menuju ke dunia luar,
serasa indah kembali ku naiki kereta yang mengantarku ke rumah.
Beberapa jam kemudian, akhirnya sampai juga. Suasana rumah yang
sudah terpenuhi bunga-bunga pengantin, seakan-akan menyambut kedatanganku. Ku
langkahkan kaki denggan cepat, dan terhenti tepat di depan rumah.
“Assalamualaikum”
Lama tak ada suara, mungkin karena terlalu ramai sampai tidak ada yang
mendengar salamku. Beberapa menit kemudian, tampak bayangan seorang gadis kecil
yang mendekati pintu dan menjawab salamku.
“Waalaikumsalam, kak Maria”,
Langsung kupeluk gadis kecil itu, dia adalah Fathimah adikku yang pertama. Ku
lepas semua kerinduanku, kemudian Fathimah lari dan memanggil ibu. Ibu pun
muncul, ku langsung mencium tangan ibu dan memeluknya, semua yang ada di situ
pun meninggalkan pekerjaan mereka dan menemuiku. Rasanya seperti mimpi, tapi
ini bukan mimpi ini kenyataan yang jelas-jelas terjadi (dalam batinku)
“Semakin besar saja kamu nak,”
“Betah kan kamu disitu”, Tanya ayah.
“Alhamdulillah, berkat doa dan semangat dari ayah, ibu, dan teman-teman, Maria
betah kok”
“syukurlah kalau begitu, ayah sama ibu jadi nggak khawatir lagi”.
Aku pun langsung istirahat, dan membaringkan tubuh di kamar, dan
semua kembali ke pekerjaan mereka. Satu malam di rumah, serasa nggak betah,
rasanya ingin cepat-cepat kembali ke pesantren. Meski tidur sepeti korban
bencana yang tidur berjejeran dan sesak-sesakkan, tapi terasa indah dan nyaman.
Setelah beberapa jam berguling di kasur akhirnya, tertidur juga.
Suara kokok ayam mulai terdenggar, membisingi telingaku yang
membuat ku terbangun dari tidurku. Ingin rasanya tidur lagi, tapi tampaknya
semua keluarga sudah terbangun dan sudah siap-siap pegi ke masjid untuk
berjamaah.
Seusai jamaah, semua mempersiapkan acara pernikahan mas Imran,
kebetulan acaranya pagi-pagi, dan siangnya aku harus kembali ke pesntren. Acara
yang belangsung meriah pun telah usai tepat pukul 12.00. Seusai sholat dzuhur,
aku bersiap-siap berangkat ke pesantren. Ayah mengantarku sampai di stasiun,
tanpa menunggu lama ayah meninggalkan ku dan meninggalkan seribu pesan yang
harus aku patuhi selama di pesantren. Kereta menuju ke Pekalongan masih sekitar
satu jam lagi, aku duduk di bangku kosong di bawah pohon yang rindang.
Tiba-tiba ada laki-laki yang aneh yang mendekatiku, dan duduk di sebelahku. Aku
semakin takut dan deg-degan.
“Mbak kenapa?, apa ada yang aneh ya, apa memang aku yang aneh?”. Tanya
laki-laki itu.
Aku hanya bisa terdiam, aku binggung harus bilang apa.
“Kenapa mbak diam, mbak merasa terganggu ya, kalau begitu aku pergi saja mbak,”
“Jangan pergi, tetap disini saja, aku nggak merasa terganggu kok,”
“baiklah, anggap saja kita teman lama, jadi santai saja mbak, tak usah gelisah
begitu”
“kenapa mas bicara seperti itu, bukankah kita tak penah bertemu, bagaimana bisa
kita jadi teman lama”
“aduh, mbak ini nggak meresapi apa yang
saya bicarakan ya, itu hanya sebuah anggapan, agar mbak tidak merasa canggung
bila di sebelah saya”.
Aku merasa malu, aku hanya bisa tersenyum sambil menahan rasa malu.
“Mbak, mau kemana?”
“Pekalongan”.
Tanpa sadar aku menggulurkan tangganku, dan menyebut namaku. Tapi tak ada
balasan darinya.
“kenapa mas tidak mau membalas perkenalanku, bukankan tadi mas bilang kalau
kita berpura-pura jadi teman lama, apa salah ya jika kita mengenal lebih dekat,
meskipun hanya nama. Siapa tau suatu hari nanti kita akan bertemu, dan kita
bisa saling menyapa”.
“Apa arti sebuah nama dan pertemuan, pertemuan pertama akan mengisahkan sebuah
rasa penasaran, pertemuan kedua akan mengisahkan sebuah rasa rindu, dan aku tak
mau merindu, karena rindu itu sangat menyakitkan.”
“kenapa mas bicara seperti itu, bukankah sekarang dunia itu seakan sempit”
Belum sempat menjawab pertanyaanku, kereta yang menuju ke Pekalongan datang,
saat ku menengok ke belakang laki-laki itu sudah hilang dari pandanganku, hanya
tertinggal buku memory yang ia tinggal di bangku tadi. Ku ambil dan ku baca,
ternyata baru terisi satu lembar yang isinya:
Aku terpesona
Pada seorang gadis, yang duduk di sampingku
Matanya yang indah, alisnya yang tebal,
Aroma wanginya yang menggetarkan hatiku
Terlebih lagi balutan kain suci
Yang telah membalut mahkotanya
Membuatnya semakin anggun
Hati siapa yang tak tergoyahkan akan kecantikan hati dan jiwanya
Sungguh aku telah terpana olehnya
sebuah ungkapan rasa yang seketika terjadi, ku baca tulisan itu
sepanjang perjalananku, hingga hati ini terluluhkan, dan merindukan sosok
laki-laki misterius tadi.
Kereta berhenti, dan aku langsung berjalan menuju pesantren yang
tak jauh dari setasiun. Sesampai di pesantren aku langsung menuju ke kamar,
kemudian langsung sowan ke umi agar umi nggak khawatir dan aku ngak di takzir.
Seusai sowan di ndalem umi, aku berpapasan dengan Hafshah, nampaknya dia begitu
terburu-buru.
“mau kemana Haf?, kok buru-buru gitu”.
“tadi ada pengumuman, katanya putranya umi hari ini pulang dari Mesir dan
seluruh santri ikut menyambut kedatangannya”
“oh, tak kira ada apa-apa, aku nggak ikut nggak papa kan, soalnya ku capek
banget”.
“ya ya, kamu istirhat aja di kamar”.
“ok”.
Aku pun langsung bergegas ke kamar dan Hafshah pergi menyambut
kedatangan gus Farhan putra pertama umi,
yang umurnya masih sederajat denganku. Saat aku sendiri di kamar aku teringat
akan laki-laki itu, memandang tulisanya seakan ku benar-benar dekat dengannya.
Apakah ini yang dinamakan cinta, ataukah rasa rindu yang menyesakkan hati dan
menghipnotis fikiranku, ah entahlah. Dari pada aku bingung dengan hatiku sendiri,
aku memutuskan menyusul Hafshah. Ternyata, yang mereka nanti belum datang juga,
dan aku kembali ke kamar.
Beberapa jam kemudian, semua santri kembali begitu juga dengan
Nisa.
“Gimana Haf, dah ketemu sama gus Farhan?”
“udah donk, tambah cakep aja beliau”.
“eh, eh, inget Haf, kamu kan dah punya Ahzam”.
“ya, aku tau Najwa, ngak mungkin juga kan seorang gus jatuh cinta sama aku, dan
cintaku juga hanya untuk mas Ahzam seorang,”.
“cie cie, yang lagi kasmaran”.
“la, kamu sendiri gimana Maria”.
“belum saatnya ku certain sama kamu, he he, udahlah aku mau ke warung dulu, mau
beli peralatan mandi”.
“aku temenin ya”.
“gitu juga boleh”.
Kami berjalan menuju warung, di tengah perjalanan aku bertemu
sosok laki-laki di stasiun itu, aku berhenti sejenak dan melamun. Apakah ini mimpi?
Tapi rasa ini ada.
“Maria, ayo cepet, wah terpesona juga ya sama gus Farhan”
“apa dia gus Farhan, putranya umi?”
“ya, Maria salah kamu sih tadi ngak ikut menyambutnya”
Rasa ini semakin hilang, ketika ku tau bahwa dia adalah seorang gus, hatiku
semakin gundah dan tak tau harus berbuat apa.
Setelah belanja di warung Hafshah bertemu Ahzam dan mereka
berbincang-bincang. Akhirnya ku harus rela pulang sendiri, dan di tenggah
perjalanan aku berpapasan dengan gus Farhan.
“Assalamualaikum ya uhti, tak kusangka ternyata Allah mempertemukan kita
kembali”
“Waalaikumsalam, ya alhmdulillah, seperti yang ku katakan dunia sekarang itu
seakan sempit”.
“kamu kenapa, wajahmu pucat seakan-akan kamu ingin menghindar dariku, apakah
pertemuan ini mengganggu mu”
“sungguh, bukan begitu, tapi aku harus kembali ke pesantren, soalnya sebentar
lagi ada ngaji kitab tafsir”.
“oh, ya maaf saya lupa, sampai ketemu nanti”
Kita pun berpisah, dengan rasa gundah bercampur rindu aku
meninggalkanya. Lalu berangkat ngaji dan kagetnya lagi yang mengajar adalah gus
Farhan. Semakin tegang rasanya, badanku serasa masuk dalam almari es yang
begitu dingin.
Telah lama ku pendam rasa rindu ini
Hingga kini telah terobati
Akan sang halwa yang hadir dalam hidup ini
Tuhan, entah apa maksud Mu
Kau pertemukan kami lagi
Dalam ruang rindu yang berisikan cinta
Apakah ini takdir Mu, tuk jadikan kami yang halal untuk Mu
Ataukah hanya sekedar pertemuan
Yang berakhir semu
Semua yang terjadi seperti mimpi, dua hati yang baru bertemu kini kian menjadi
satu. Perasaan yang sama namun, kian sulit tuk di padu karena sesuatu. Dan
hanya takdir sang izzati Robillah yang dapat menjawab kegelisahan ini. Semua
yang terjadi ku ceritakan pada Hafshah, dan dia memberikan solusi yang terbaik.
Dan aku harus memilih mana yang baik dan yang tak baik.
Pagi menyapa ku dengan indah, hari minggu yang menyenagkan meski
hati dilanda kegelasahan yang tak menentu. Aku duduk di samping taman sambil
menikmati udara pagi dan sedikit ndarus alqur’an. Tanpa kusadari, ternyata gus
Farhan menghampiriku. Tak tau apa yang ia bicarakan, sebuah ungkapan hati yang
begitu tulus dan ikhlas.
“Maria, setelah lama aku pendam rasa ini, dan tanpa tak sengaja aku
mengunggkapkan rasa yang tak pantas aku ucapkan kepadamu, karena sepertinya
semua yang aku ucapkan mengganggu hidup kamu”
“Tak seperti itu gus, aku hanya takut dan bingung apakah pantas. Gadis seperti
aku ini bersanding dengan seorang gus pemilik pesanteren yang sekarang aku
tempati”
“Percayalah, Maria aku mencintaimu ikhlas dari hati dan atas ridho Nya, dan aku
tak peduli siapa aku dan kamu, bagiku semua sama tak ada yang berbeda, aku pun
sudah bicara dengan umi dan abah. Mereka tak melarangku untuk berdampingan
dengan siapapun, jadi maukah kau menjadi pendamping hidup ku nanti”
Aku semakin binggung, dan harus menjawab apa,
“kamu diam, berarti kamu setuju, karena diamnya seorang wanita menandakan kalau
dia setuju, besok aku akan kembali ke Mesir. Aku janji, aku akan cepat
menyelesaikan program s2 ku dengan cepat dan akan kembali ke sini untuk
mempersuntingmu,”
“Dan aku pun kan berjanji, sebelum mas Farhan kembali ke sini, Maria akan menghatamkan
al-quran dan s1 Maria”.
Suasana haru, yang begitu menyedihkan. Ungkapan rasa yang baru saja terucap
kini harus berakhir dengan perpisahan.
Setelah gus Farhan meninggalkan Indonesia, Maria pun semakin giat
belajar dan menghafalkan alquran. Hingga beberapa tahun kemudian Maria diwisuda
sekaligus mendapat gelar hafidhoh. Setelah selesai wisuda Maria pulang ke rumah
bersama orangtuanya. Maria dan kedua orangtuanya terkejut dengan kedatangan pak
yai dan bu nyai ke rumah. Ternyata mereka datang bersama gus Farhan, untuk
melamar Maria. Gus Farhan menempati janjinya begitupula dengan Maria. Hingga
akhirnya mereka menikah dan mendirikan sebuah pesantren yang mereka beri nama
“Pon-Pes Putra Putri Ar - Rahmah”